Rabu, 14 April 2010

PENDEKATAN MASALAH, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Pengaruh Kedisiplinan Kerja Pengurus Terhadap Koperasi

KAJIAN TEORI

Keith Davis dalam Anwar Prabu Mangkunegara ( 2001 ) disiplin kerja dapat diartikan sebagai pelaksanaan manajemen untuk memperteguh pedoman-pedoman organisasi.
Melayu SP Hasibuan ( 2001 ) disiplin kerja adalah kesadaran seseorang mentaati semua peraturan organisasi atau perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku.
Hardi Susilo ( 2010 ) disiplin kerja adalah konsekuensi dan tanggung jawab atas kesepakatan antara kedua belah pihak atau lebih ketika kesepakatan itu diterima sesuai dengan hal-hal yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Disiplin kerja adalah hasil tindakan atas ikrar/ucapan diri sendiri terhadap orang lain yang dapat menunjukkan kualitas jati diri atas perbuatannya. ( Hardi Susilo, 2010 )
Disiplin yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. hal ini yang mendorong gairah kerja, semangat kerja, dan terwujudnya tujuan organisasi, perusahaan, personil dan sumber daya manusia yang berkualitas.
Setiap pemimpin harus berusaha agar mempunyai disiplin yang baik, dan pemimpin dapat dikatakan baik dalam kepemimpinannya jika dapat menunjukkan disiplin dalam memelihara peningkatan rasa tanggung jawab, hal ini merupakan masalah yang tidak mudah, karena banyak faktor yang mempengaruhinya.
Disiplin kerja perlu dijadikan konsekuensi dalam suatu organisasi perusahaan, tanpa melalui dukungan kedisiplinan pengurus yang baik akan sulit organisasi/perusahaan untuk mewujudkan tujuannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedisiplinan adalah kunci keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan.

Indikator Kedisiplinan Kerja
Pada dasarnya indikator yang dapat mempengaruhi kedisiplinan kerja terhadap pengurus organisasi yang mereka pimpin adalah:

a. Kemampuan

Kemampuan dapat mempengaruhi tingkat kedisiplinan kerja, tujuan yang akan dicapai harus disesuaikan dengan yang ditetapkan secara ideal sehingga dapat menantang bagi kemampuan pengurus. ( disesuaikan dg kemampuan )

b. Teladan
Teladan pimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan, karena pimpinan dijadikan teladan dan panutan oleh orang lain. Pimpinan harus memberi contoh yang baik, disiplin, jujur, terbuka, adil, komunikatif sesuai dengan tutur kata dan perbuatannya. Dengan teladan pimpinan yang baik, tidak akan terjadi cemoohan bawahan atau orang lain, jika teladan pimpinan kurang baik/kurang disiplin akan berpengaruh terhadap harga dirinya sendiri.

c. Balas Jasa
Balas Jasa (Gaji dan Kesejahteraan) ikut mempengaruhi kedisiplinan kerja karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan terhadap perusahaan atau pekerjaannya. Jika kecintaan semakin baik terhadap pekerjaannya, kedisiplinan mereka akan semakin baik pula. Namun dalam koperasi disebutkan bahwa Pengurus tidak mendapatkan gaji/upah, tetapi dapat diberikan uang jasa sesuai dengan kemampuan koperasi, hal ini menurut penulis tidak sejalan dengan tujuan kewirausahaan, maka untuk memenuhi gaji/kesejahteraan pengurus dapat dilakukan secara khusus, misalnya dengan memberikan komisi atau jenis lainnya.

d. Keadilan
Keadilan ikut mendorong terwujudnya kedisiplinan, karena rasa egois sebagai sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting, maka harus diperlakukan sama dengan anggota lainnya.

e. Waskat
Waskat (Pengawasan Melekat) adalah tindakan nyata dan paling efektif dalam mewujudkan kedisiplinan. Dengan waskat berarti pimpinan dan anggota harus aktif dan langsung saling mengawasi perilaku, moral, sikap, gairah kerja dan prestasi kerja semua keanggotaan koperasi.
Hal ini berarti pimpinan harus selalu ada atau hadir ditempat kerja agar dapat mengawasi dan memberikan petunjuk jika anggotanya mengalami kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaannya.

f. Sanksi Hukuman
Sanksi hukuman harus berperan penting dalam memelihara kedisiplinan dengan sanksi hukuman yang semakin berat, pengurus akan semakin takut melanggar peratuan-peraturan perusahaan, sikap dan perilaku pengurus akan berkurang.

g. Ketegasan
Ketegasan pimpinan dalam melakukan tindakan yang mempengaruhi kedisiplinan kerja. Pimpinan harus berani dan tegas bertindak preventif untuk memberikan hukuman sesuai dengan sanksi hukuman yang sesuai. Kesimpulan dalam ketegasan pimpinan untuk menegur dan sebagai salah satu hukuman ringan yang tidak disiplin, hukuman dapat dilakukan secara bertahap dari mulai teguran, hukuman ringan, hukuman sedang dan hukuman berat sehingga berlaku hukuman tingkat pengadilan.

h. Pengaruh Kemanusiaan/bijaksana
Pengaruh kemanusiaan yang harmonis diantara semua ikut menciptakan disiplin yang baik pada suatu organisasi. Hubungan akan mempunyai pengaruh yang baik bersifat vertikal maupun horizontal yang terdiri dari direct single relationship, direct group relationship dan cross relationship. Manajer/pengurus/pemimpin hendaknya dapat menciptakan keharmonisan dan suasana sebagai sistem kerjasama yang berpengaruh terhadap kemanusiaan yang serasi serta mengikat secara vertikal maupun horizontal, dengan terciptanya Human Relationship yang serasi akan mewujudkan lingkungan dan suasana kerja yang nyaman.

Macam-Macam Kedisiplinan
Anwar Prabu Mangkunegara (2001) mengemukakan bahwa ada 2 (dua) bentuk kedisiplinan kerja, yaitu disiplin preventif dan disiplin kerja korektif :
a. Disiplin Preventif
Disiplin peventif adalah suatu upaya untuk menggerakan pengurus mengikuti dan mematuhi pedoman kerja, aturan-aturan yang telah digariskan oleh perusahaan. Tujuan dasarnya adalah untuk menggerakan pengurus untuk berdisiplin diri dengan cara preventif, pengurus dapat memlihara dirinya terhadap peraturan-peraturan perusahaan.

b. Disiplin Korektif
Disiplin korektif adalah suatu upaya menggerakan pengurus dalam menyatukan suatu peraturan dan mengarahkan untuk tetap mematuhi peraturan sosial dengan peraturan yang berlaku pada perusahaan. Dalam disiplin korektif pengurus yang melanggar kedisiplinan perlu diberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tujuan pemberian sanksi adalah untuk memperbaiki pengurus melanggar, memelihara peraturan yang berlaku, dan memberikan pelajaran kepada pelanggar
Sondang P Siagan (2001) mengemukakan bahwa : terdapat dua jenis disiplin kerja dalam organisasi, yaitu yang bersifat preventif dan korektif.

a. Disiplin Preventif
Adalah tindakan yang mendorong para pengurus untuk taat kepada berbagai ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar yang telah ditetapkan, artinya, melalui kejelasan dan penjelasan tentang pola sikap tindakan dan perilaku yang diinginkan dari setiap pengurus berorganisasi diusahakan pencegahan jangan sampai para pengurus berperilaku negatif.
b. Disiplin Korektif
Merupakan pengurus yang nyata-nyata telah melakukan pelanggaran atas ketentuann-ketentuan yang berlaku atau gagal memenuhi standar yang telah ditetapkan, kepadanya dikarenakan sanksi disiplin. Berat atau ringannya suatu sanksi tentunya tergantung pada bobot pelanggaran yang telah terjadi.

T Hani Handoko (1999 ) mengemukakan bahwa : dalam disiplin kerja terdapat 2 (dua) tipe kegiatan pendisiplinan, yaitu :

a. Disiplin Preventif
Adalah kegiatan untuk mendorong para pengurus agar mengikuti berbagai standar dan aturan sehingga penyelenggaraan-penyelenggaraan dapat dicegah. Sasaran pokoknya adalah untuk mendorong disiplin diri di antara para pengurus
b. Disiplin Korektif
Adalah kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran terhadap aturan-aturan dan mencoba untuk menghindar pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut. Kegiatan korektif sering berupa suatu bentuk hukuman dan disebut tindakan pendisiplinan (disciplinary action)



Pendekatan Kedisiplinan Kerja

Anwar Prabu Mangkunegara, ( 2001 ) mengemukakan bahwa : ada tiga pendekatan disiplin kerja yaitu pendekatan disiplin modern, disiplin dengan tradisi, dan disiplin bertujuan.

a. Pendekatan Disiplin Modern
Pendekatan disiplin modern yaitu mempertemukan sejumlah keperluan atau kebutuhan baru diluar hukuman pendekatan ini adalah:
1. Disiplin modern merupakan suatau cara menghindar bentuk hukuman secara fisik.
2. Melindungi tuduhan yang benar untuk diteruskan pada proses hukum yang berlaku.
3. Keputusan-keputusan yang semuanya terhadap kesalahan atau prasangka harus diperbaiki dengan mengadakan proses penyuluhan dengan mendapatkan fakta-faktanya.
4. Melakukan proses terhadap keputusan yang berat sebelah pihak terhadap kasus disiplin.

b. Pendekatan Kedisiplinan dengan Tradisi

Pendekatan kedisiplinan dengan tradisi, yaitu pendekatan disiplin dengan cara memberikan hukuman pendekatan ini berasumsi :
1. Disiplin dilakukan oleh atasan bawahan dan tidak pernah ada peninjauan kembali bila telah diputuskan.
2. Disiplin adalah hukuman untuk pelanggaran, pelaksanaan harus disesuaikan dengan tingkat pelanggarannya.
3. Pengaruh hukuman untuk memberikan pelajaran kepada pelanggar maupun pada kepada para pengurus.
4. Peningkatan perbuatan pelanggaran diperlukan hukuman yang lebih keras.
5. Pemberiaan hukuman terhadap pengurus yang melanggar kedua kalinya harus diberi hukuman yang lebih berat.

c. Pendekatan Disiplin dengan Tujuaan
Pendekatan disiplin kerja bertujuan ber-asumsi bahwa ;
1. Disiplin kerja harus dapat diterima dan dipahami oleh semua para pengurus.
2. Disiplin bukanlah suatu perubahan tetapi merupakan pembentukan prilaku.
3. Disiplin ditinjau untuk perubahan perilaku yang baik.
4. Disiplin pengurus bertujuan agar para pengurus bertanggung jawab terhadap perbuatannya.


Pelaksanaan Sanksi Pelanggaran Kedisiplinan Kerja
Anwar Prabu Mangkunegara ( 2001) mengemukakan bahwa :
Pelaksanaan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dengan memberikan peringatan harus segera konsisten dan impersonal.

a. Pemberian Peringatan
Para pengurus yang melanggar disiplin kerja perlu diberikan suatu peringatan pertama, kedua dan ketiga. Tujuan pemberitaan peringatan adalah agar pengurus yang bersangkutan menyadari pelanggaran yang telah dilakukannya. Di samping itu pula surat perintah tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memberikan penilaian kondisi pengurus.

b. Pemberian Sanksi Harus Segera
Pengurus yang melanggar disiplin harus segera diberikan sanksi yang sesuai dengan peraturan organisasi yang berlaku. Tujuannya agar pengurus yang bersangkutan memahami sanksi pelanggaran yang berlaku diperusahaan. Kelalaian pemberian sanksi akan memperlemah disiplin yang ada.

c. Pemberi Sanksi Harus Konsisten
Pemberian sanksi kepada pengurus yang tidak disiplin harus konsisten. Hal ini bertujuaan agar pengurus sadar dan menghargai peraturan-peraturan yang berlaku pada perusahaan. Ketidak konsistenan pemberi sanksi dapat mengakibatkan pengurus merasakan adanya diskriminasi pengurus dengan sanksi dan pengabaian kedisplinan.

d. Pemberian sanksi harus impersonal
Pemberian sanksi pelanggaran kedisiplinan harus tidak membeda-bedakan pengurus tua-muda, laki-laki, perempuan tetapi diperlakukan sama sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tujuannya agar pengurus menyadari bahwa kedisiplinan kerja berlaku untuk semua pengurus dengan sanksi pelanggaran yang sesuai dengan peraturan yang berlaku diperusahaan.


Toffler (1980) berpendapat bahwa : melihat terjadinya berbagai perubahan paradigma usaha mengandung implikasi pada perubahan paradigma organisasi dan manajemen usaha, baik pada struktur, strategi, maupun kulturnya. Perubahan-perubahan tersebut menuntut cara pandang yang berbeda terhadap kedudukan dan peran sumber daya manusia.

Naisbitt & Aburdene (1985) mengemukakan bahwa : mencatat berbagai perubahan paradigma usaha sebagai akibat dari perubahan lingkungan global.

Cara pandang baru memposisikan sumber daya manusia lebih strategis dan vital ketimbang cara pandang lama. Pengkajian terhadap posisi dan peran sumber daya manusia pada organisasi koperasi sangat penting belakangan ini. Sekurang-kurangnya terdapat dua alasan penting untuk pembenaran hal itu.

1. koperasi adalah organisasi ekonomi yang secara normatif memposisikan manusia sebagai faktor penting dibandingkan faktor-faktor lainnya.
2. Kedua fakta bahwa koperasi dihadapkan pada masalah rendahnya mutu manajemen sebagai akibat dari rendahnya mutu sumber daya manusia. Masalah mutu sumber daya manusia pada berbagai perangkat organisasi koperasi menjadi masalah yang menonjol dan mendapat sorotan.
3. Subyakto (1996 ) mempunyai pandangan bahwa, kendala yang sangat mendasar dalam pemberdayaan koperasi dan usaha kecil adalah masalah sumber daya manusia.
4. Koperasi adalah : badan usaha yang beranggotakan orang-seseorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
( U.U. RI. No : 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian )
Melalui kajian teori diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Pengurus dan anggota secara bersama-sama saling menggantikan menjadi pelaku organisasi yang aktif, dan menjadi front line staff dalam melayani anggota koperasi. Keadaan saling menggantikan seperti itu, banyak terjadi dalam praktik manajemen koperasi di Indonesia.
Kinerja front line staff memiliki dampak terhadap kepuasan pihak-pihak yang memiliki kaitan dengan pengembangan koperasi, antara lain adalah anggota sebagai pemilik dan pemanfaat, sedangkan pemerintah sebagai pembina serta pihak mitra bisnis yang berperan sebagai pemasok, distributor, produsen, penyandang dana dan lain sebagainya.
Fenomena perubahan paradigma usaha dan organisasi usaha secara umum menyebabkan pentingnya perubahan visi organisasi koperasi. Visi baru koperasi adalah meningkatkan perhatian terhadap kepuasan anggota sebagai pelanggan melalui strategi pelibatan dan pemberdayaan pengurus dan karyawan (front line staff). Tetapi masalahnya, faktor-faktor apa sajakah yang dapat berpengaruh terhadap pembentukan kinerja front line staff yang lebih baik, sehingga setiap individu itu dapat memberikan mutu layanan yang sebaik-baiknya bagi para angggota sebagai pelanggan. Dengan ditemukan secara baik faktor-faktor pembentuk kinerja maka sangat dimungkinkan untuk menyusun pemikiran sistimatis baik untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan mengenai perkoperasian maupun kebutuhan praktis pembangunan koperasi.
Kriteria organisasional berkaitan dengan kemampuan organisasi untuk menghasilkan keluaran yang terbaik dari sumber daya yang dimiliki dan dikelola. Kriteria ini melihat efektivitas organisasi koperasi dari kemampuan koperasi memuaskan anggota melalui proses pelayanannya. Sedang kriteria lain yakni kriteria individual berkaitan dengan sejauh mana koperasi dalam proses pencapaian keluaran optimal itu dapat memberikan iklim dan suasana psikologis yang menyenangkan bagi individu-individu yang terlibat dalam proses pencapaian tujuan kriteria organisasional.
Dalam konteks koperasi mutu layanan adalah kriteria organisasional. Perhatian terhadap mutu layanan selain memiliki muatan normatif seperti yang dikemukakan oleh kelompok nominalis, yakni charge or principle of members promotion (Munkner, 1985), juga karena alasan strategis untuk meraih customer value melalui customer driven seperti yang dimaksud oleh Bound (1994). Perhatian terhadap kepentingan pelanggan dengan cara melihat kebutuhan serta kepuasan atas pelayanan menjadi faktor kunci untuk keberhasilan usaha di tengah iklim persaingan yang semakin ketat. Perbaikan kinerja front line staff merupakan kriteria individual, dimana secara fungsional berimplikasi pada perbaikan mutu layanan (Wellington, 1992).
Kinerja individu dipengaruhi oleh faktor-faktor pembentuk perilaku dengan tingkat kompleksitas dan komposisi tertentu. Lewin (1951) dengan teori Medan (Field theory) maupun teori Pembelajaran Sosial (Social Learning theory) dari Bandura (1977) dengan pola interaksi yang berbeda dengan Lewin, menyatakan pola dasar hubungan yang dimaksud Teori Atribusi dari Batteman (1992), dan pendapat Blumberg dan Pringle (1977) menyatakan hal serupa namun lebih implementatif. Mengacu pada teori-teori tersebut maka dapat disusun kerangka teoritis dalam penelitian, seperti, berikut. Fakta empiris dalam pembangunan koperasi di Indonesia membedakan dua jenis koperasi, yakni Koperasi Unit Desa serta koperasi Non KUD yang terdiri atas koperasi fungsional, koperasi perkotaan dan koperasi pedesaan lainnya. Perbedaan terletak pada sistem pembinaan yang diberikan pemerintah dan pola pelayanan usaha.
Hasil uji statistik dengan analisis jalur menghasilkan kesimpulan, terdapat efek sinergi dari berbagai faktor yang diprediksi terhadap pembentukan kinerja anggota pengurus dan karyawan koperasi. Serta terbukti terdapat implikasi terhadap pembentukkan mutu layanan.
Berdasarkan pembuktian hipotesis pertama terdapat dua faktor yang signifikan terhadap pembentukan motivasi staff yakni ciri biografis dan kepribadian individu. Ciri biografis yang memiliki karakteristik ekonomi serta kepribadian dalam konteks kerja secara signifikan berpengaruh terhadap ketersediaan dorongan untuk melaksanakan tugas dalam pekerjaan. Keadaan ini sejalan dengan pendapat Robbins ( 1996 ) ataupun Sustermeister (1976) yang menyatakan, motivasi terbentuk oleh adanya interaksi “employee needs” dan “working condition”.
(a) Kebutuhan Staf, masalah yang harus intensif dibahas sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan pegawai adalah kurang menariknya imbal kerja bagi staf. Sistem imbal kerja yang kurang menarik di koperasi antara lain disebabkan oleh adanya masalah, (1) struktural, (2) insentif ekonomi, (3) moralitas pimpinan. Ketiga masalah tersebut baik secara parsial maupun bersama-sama sebenarnya tidak perlu terjadi apabila pihak manajemen dan pihak eksternal yang terlibat dalam pembinaan dan kepentingan usaha koperasi memiliki persepsi dan komitmen yang tepat, mengenai, koperasi.
(b) Lingkungan Kerja, lingkungan internal memiliki dampak terhadap kepribadian individu. Staf dan anggota Koperasi memiliki tekanan lebih kuat dibanding responden di koperasi bentuk lain. Hal ini menandakan bahwa pola top down dalam pembinaan,dengan sistem target dijadikan instrumen penting kemudian didukung oleh pimpinan otokratis, menyebabkan anggota pengurus maupun karyawan berada pada situasi kerja dengan “tekanan” yang lebih kuat.
Motif pemenuhan kebutuhan sosial (gotong royong) masih mewarnai alasan keterlibatan individu dalam koperasi hal ini sejalan dengan pendapat Herman (1995). Namun walaupun begitu pertimbangan unsur pendapatan dalam melihat fenomena homogenitas tingkat motivasi kerja di kedua bentuk koperasi yang diamati masih dirasakan relevansinya. Terutama dilihat dari peran pendapatan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang harus tersedia.
Dengan diperolehnya indikasi adanya pengaruh motivasi kerja anggota pengurus dan karyawan koperasi terhadap kinerja individu. Maka keputusan memodifikasi faktor-faktor pembentuk motivasi secara komprehensif dapat dijadikan alternatif langkah solutif.
Untuk itu perlu dilakukan, (a) perbaikan sistem imbal kerja, dan (b) menerapkan pendekatan baru dalam pelaksanaan fungsi kepemimpinan. Masalah yang timbul dalam dalam pemenuhan kebutuhan staf serta lingkungan organisasi menyebabkan koperasi belum mampu menarik kelompok masyarakat dengan kemampuan dan entrepreuners lebih baik untuk bergabung. Kemampuan menangani pekerjaan di koperasi membutuhkan profesionalisme dan kepekaan dalam mempertimbangkan keputusan-keputusan ekonomi.
Manajemen yang berkembang di koperasi umumnya mengembangkan kekuasaan sentralisasi. Sistem seperti itu cenderung kurang merangsang tumbuhnya potensi kemampuan individu seperti yang dipersyaratkan, bahkan dapat menciptakan ketergantungan yang kuat bagi anggota. Dominasi yang kuat dari pimpinan menjadi salah satu penyebab anggota berkemampuan baik tidak memiliki motivasi yang kuat dan menyebabkan ketidakpuasan pada proses kerja. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa kelompok anggota pengurus dan karyawan yang bermotivasi tinggi bukan dari kelompok berkemampuan tinggi, serta fakta adanya pengaruh yang tidak nyata terhadap kepuasan kerja. Faktor yang menyebabkan ketidakpuasan kerja bekerja di koperasi, bagi kelompok staf berkemampuan tinggi diidentifikasikan, karena (1) materi kerja tidak menantang secara emosional, (2) imbalan yang kurang pantas, (3) kondisi kerja kurang mendukung, (4) rekan sekerja kurang mendukung, dan (5) ketidaksesuaian antara kepribadian, dengan, pekerjaan.
Masalah yang dihadapi dalam kebijaksanaan dan praktik pembinaan sumber daya manusia di koperasi, khususnya pada pembinan kompetensi antara lain, (a) intensitas dan relevansi pembekalan internal berupa pendidikan dan latihan, di dalam dan di luar, serta diskusi bidang kerja masih jarang dilakukan, (b) bobot bidang tugas kurang didukung oleh sistem perencanaan dan relevansi dengan tugas yang dijalankan, (c) keterbatasan alokasi dana internal untuk melaksanakan program pelatihan internal khususnya untuk pembinaan kompetensi.
Dengan terbuktinya penelitian ini berpengaruh nyata terhadap kinerja pengurus dan anggota yang berpengaruh lebih besar dibanding dari faktor pembentukan organisasi lainnya, maka dapat dipastikan adanya keterkaitan dengan vertikal dan horizontal dalam proses kerja di koperasi. Keadaan ini memberikan tanda perlu adanya perbaikan kinerja kepemimpinan terus menerus agar selalu memiliki nilai relevansi dengan tantangan dan kebutuhan anggota maupun pengurus.
Budaya organisasi secara kontinyu diterapkan dalam organisasi koperasi. Akan tetapi anggota pengurus dan karyawan yang loyal melaksanakannya adalah mereka yang berasal dari kelompok berkemampuan lebih rendah, sehingga secara kualitatif efektivitas pelaksanaannya patut di ragukan. Pendapat yang menyatakan bahwa koperasi tengah mengalami pelapukan (Herman ,1995) dan kehilangan jati diri memiliki alasan yang cukup kuat. Sulit dibedakan secara tegas nilai esensial yang seharusnya ada di koperasi dan di lembaga ekonomi non-koperasi.
Dinamika usaha pada umumnya dan komitmen terhadap pembangunan koperasi menjadi salah satu penyebab pelapukan itu. Adanya indikasi motif berkelompok menonjol di kalangan anggota pengurus dan anggota koperasi seperti yang terungkap pada tingkatan motivasi. Hal itu bukan karena adanya kebutuhan “cinta kasih” yang merupakan karakteristik dasar manusia koperasi seperti yang dimaksud oleh Herman (1995), akan tetapi lebih cenderung sebagai karakteristik umum budaya kerja di Indonesia. Hal itu sejalan dengan pendapat Frans (1986) yang menyatakan bahwa pekerja Indonesia memiliki karakteristik “kolektivistik” dengan kebutuhan afiliansi yang tinggi. Keadaan ini memungkinkan kurang tumbuhnya kreativitas dan inovasi individu. Dalam kasus koperasi terdapat kemungkinan konflik-konflik antara anggota dengan pengurus, anggota berpendidikan lebih tinggi dengan pimpinan yang berpotensi sering menciptakan iklim kerja yang kurang harmonis. Budaya kerja yang ada belum mampu mengakomodasi konflik menjadi pendorong terciptanya proses kerja yang tidak produktif.
Kriteria mutu layanan yang paling diprioritaskan oleh anggota pelanggan, adalah sikap empati petugas layanan yang senantiasa memiliki tingkat kehadiran pada waktu layanan yang tinggi. Pelanggan membutuhkan petugas layanan yang memiliki komitmen terhadap waktu layanan. Dengan terbuktinya kinerja front line staff berpengaruh terhadap pembentukkan mutu layanan, maka upaya-upaya yang mengarah pada modifikasi kinerja perlu menjadi perhatian selanjutnya. Mutu layanan yang lebih baik, diterima oleh pelanggan dari front line staff yang memiliki, tingkat kehadiran yang tinggi (kemangkiran rendah), serta memiliki komitmen kerja yang tinggi. Hal ini di atas selaras dengan pendapat Bowen, Siehl dan Schneider dalam Iman (1996), yang menyatakan bahwa, “kepuasan layanan yang dirasakan pelanggan dipengaruhi oleh sifat dari interaksi yang terjadi dengan front line staff”. Demikian pula dengan pendapat Sutjipto (1996) yang menyatakan “terdapat pengaruh dari karakteristik tertentu dari penanganan masalah kepegawaian terhadap kepuasan pelanggan”. Hal senada juga dinyatakan oleh Webster (1994), Fandy (1996) maupun Wellington (1989).
Implementasi dari penjelasan itu adalah, mendudukkan potensi sumberdaya yang dibutuhkan oleh organisasi/Koperasi berdasarkan perioritas kepentingan dalam usaha memenangkan persaingan. Sistem pembinaan harus mampu mengkristalisasikan tradisi kerja yang menjadi acuan individu dalam organisasi. Hal tersebut sangat membantu bagi pelaku organisasi, terutama dalam mempersepsikan peran dirinya dalam organisasi koperasi. Di samping itu, dapat membuka wawasan bahwa, KUD dapat dilaksanakan oleh masyarakat sendiri, tanpa campur tangan yang berlebihan dari pemerintah seperti yang selama ini terjadi.
Ciri-ciri suatu organisasi formal berkaitan dengan suatu fenomena komunikasi jabatan (positional communication) (Redfield, 1953)
1. Hubungan dibentuk antara jabatan-jabatan, bukan antara orang-orang, dan keseluruhan organisasi terdiri dari jaringan jabatan.
2. Mereka yang menduduki jabatan diharuskan berkomunikasi dengan cara yang sesuai dengan jabatan mereka.
3. Sekalipun demikian, dalam praktek komunikasi jabatan ini membingungkan, karena tidak semua jabatan dan interaksi secara seksama sesuai dengan diagram jabatan.
4. Meskipun analisis Weber tentang teori organisasi dapat menguraikan banyak organisasi yang beroperasi dewasa ini, sejumlah pemikiran dan teori lain memberikan sumbangan untuk memahami cara kerja organisasi, dan khususnya, komunikasi organisasi.
5. Terdapat dua jenis teori lagi, disamping teori komunikasi, yang memberikan pandangan yang berguna, yakni teori manajemen dan teori organisasi.
6. Terkadang para penulis membuat sedikit perbedaan antara teori pengelolaan (managing) dan teori pengorganisasian (organizing) karena kedua teori itu sering sangat mirip, tetapi terkadang berbeda.


Organisasi Swasta
Suatu entitas yang aktifitasnya berhubungan dengan usaha untuk menghasilkan barang dan jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen.
Persamaan organisasi Swasta dan Sektor Publik
1 Merupakan bagian yang integral dari system suatu Negara
2 Menggunakan sumber daya yang sama untuk mencapai tujuan
3 Menggunakan sumberdaya secara ekonomis, efisien & efektif (Value for Money Concept).
4 Membutuhkan informasi yang handal & relevan untuk melaksanakan fungsi manajemen.
5 Pada beberapa hal, menghasilkan produk yang sama (missal: pendidikan, kesehatan, transportasi massa).
Lingkungan Organisasi
1 Lingkungan umum: mencakup kondisi yang mungkin mempunyai dampak terhadap system organisasi dalam mencapai tujuannya. Menjadi perhatian manajemen karena terdiri dari konstituensi kritis ( positif atau negatif ).
2 Lingkungan khusus tiap organnisasi berbeda tergantung pada domain yang dipilihnya Domain: pilihan yang dibuat organisasi bagi dirinya sendiri yang menyangkut rangkaian produk atau jasa yang ditawarkan dan pasar yang dilayaninya. (niche org)
3 Konsep domain penting karena menentukan titik ketergantungan organisasi pada limgkungan khususnya.
4 Lingkungan aktual dan lingkungan yang dipersepsikan
5 Ketidakpastian lingkungan : statis dan dinamis
Struktur Mekanis dan Organis: (Burns & Stalkers) desentralisasi sentralisasi Kontrol keahlian wewenang Pengaruh rendah tinggi Formalisasi lateral vertikal Komunikasi fleksibel kaku Definisi Tugas organis mekanis Karakteristik.
Lingkungan organisasi ( Fred Emery dan Eric Trist )
1. Lingkungan Placid Randomized: Permintaan didistribusikan secara acak, perubahan lamban, perubahan dapat diramalkan, ancaman paling sedikit.
2. Lingkungan Placid-clustered: perubahan lamban, ancaman terhadap organisasi lebih bersifat kelompok. Misalnya pemasok masukan dan distributor keluaran membentuk koalisi/aliansi.
3. Lingkungan disturbed - reactive: terdapat banyak pesaing yang mencari tujuan yang sama. Organisai mengembangkan serangkaian inisiatif taktis, memperhitungkan reaksi pesaing, menyusun strategy tindakan balik. Persaingan ini memerlukan fleksibelitas dan strukturnya cenderung terdesentralisasi.
4. Lingkungan turbulent-field : paling dinamis, ketidakpastian paling besar, perubahan selalu terjadi dan elemen dalam lingkungan semakin saling berhubungan (multiplier effect).
Paul Lawrence dan Jay Lorsch
1. Perusahaan yang lebih berhasil pada masing-masing industri akan mempunyai penyesuaian yang lebih baik daripada yang kurang berhasil
2. Lingkungan eksternal : tingkat perubahan dalam lingkungan dari waktu ke waktu, kejelasan informasi yang dipegang manajemen, waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan umpan balik dari lingkungan lingkungan terhadap aktivitas yang dilakukan organisasi
3. Lingkungan internal : dimensi deferensiasi dan integrasi
Permasalah Dalam Perencanaan Strategi
1. Perencanaan stategis tidak dijadikan sebagai proses yang berkelanjutan
2. Visi dan misi organisasi sulit dimengerti, kabur makna dan tidak coba dijabarkan dalam langkah nyata yang terlihat keterhungannya.
3. Strategi tidak diformulasikan dengan baik.
4. Strategi tidak terhubung dengan sasran-sasaran (goals) departemen, tim, dan individu.
5. Strategi tidak terhubung dengan alokasi sumber daya organisasi.
6. Tujuan-tujuan strategis organisasi tidak terlihat keterhubungannya dengan strategi organisai.
Permasalahan Dari Segi Pelanggan
1. Organisasi kesulitan untuk membangun loyalitas pelanggan.
2. Organisasi tidak secara jelas memahami espektasi pelanggan atau tidak bisa menentkan volue proposition yang diharapkan oleh para pelanggan.
3. Kesalahan melakukan segmentasi pelanggaran.
4. Pelanggaran diperlakukan sebagai pihak yang membutuhkan bukan sebaliknya.
5. Pelanggan sering diasumsikan akan datang dan dapat dipertahankan dengan sendirinya tanpa perlu melakukan proses pemasaran yang baik.
6. Organisasi yang melakukan penjualan barang bukan penyediaan layanan atau jasa.
Permasalahan Dari Segi Proses Bisnis Internal
1. Sulitnya melakukan efisiensi operasional organisasi.
2. proses pemberian layanan tidak atau kurang responsive.
3. layanan yang ada tidak pas dengan ekspektasi pasar atau value proposition yang diharapkan oleh para pelanggannya.
4. suatu jenis dan kualitas suatu proses layanan diperuntukan bagi seluruh segmen pasar yang jelas mempunyai harapan yang berbeda-beda.
Hasil dari internal proses dari organisasi tidak dapat memberikan masukan strategis (strategic feedback) bagi peningkatan kinerja organisasi.

Permasalahan Dari Segi Proses Pembelajaran Dan Pertumbuhan Organisasi
1. Sulitnya meningkatkan dan memobilisasi pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki untuk peningkatan kinerja organisasi.
2. Tidak terbangunnya budaya pelayanan prima (service excellence) sebagai budaya peningkatan kinerja organisasi.
3. Sumber manusia yang ada bekerja tanpa mengetahui keterhubungannya dengan kinerja organisasi.
4. Sumber manusia yang ada sangat jarang atau tidak pernah memberi masukan strategis (strategic feedback) bagi pengembangan kinerja organisasi.
5. Sumber daya manusia yang ada tidak pernah ikut dalam evaluasi pencapaian kinerja organisasi. Kurangnya pemanfaatan teknologi informasi dan komonikasi untuk peningkatan kinerja organisasi
Hubungan Kualitas Kedisiplinan Kerja Pengurus Dengan Keberadaan Organisasi Koperasi
Disiplin kerja merupakan fungsi operatif keenam dari manajemen sumber daya manusia hal ini penting karena semakin baik disiplin kerja anggota semakin banyak anggota yang ikut dalam organisasi koperasi yang didapat. Tanpa disiplin kerja yang baik sulit bagi organisasi koperasi mencapai hasil yang baik jadi untuk memperbanyak anggota koperasi agar bisa masuk secara sukarela.
Disiplin kerja juga diartikan jika anggota selalu datang dan pulang tepat pada waktunya, mengerjakan semua pekerjaan–pekerjaan dengan baik, mematuhi semua peraturan organisasi dan norma-norma sosialyang berlaku disiplin kerja harus ditegakan dalam suatu organisasi koperasi tanpa dukungan anggota yang baik dan dapat mewujudkan organisasi koperasi dengan tujuaannya .
Kerangka Pemikiran
Disiplin kerja harus dilakukankan dalam suatu organisasi tanpa dukungan disiplin anggota yang baik, sulit bagi organisasi koperasi mewujudkan tujuanya jadi kedisiplinan adalah kunci keberhasilan suatu organisasi koperasi untuk mencapai tujuannya sehingga kerangka model kerangka berpikir seperti dibawah ini ;
Kedisiplinan kerja merupakan variable bebas (independent) dan organisasi koperasi merupakan variabel terikat (dependen).
Adapun indikator masalah yang mempengaruhi tingkat disiplin kerja dari organisasi koperasi (malayu SP Hasibuan, 2001 : 194);
1. Tujuan dan Kemampuan
Berarti bahwa tujuaan yang dibebankan kepada pengurus harus sesuai dengan kemampuaan pengurus yang bersangkutan agar dia bekerja sungguh-sungguh dan kedisiplinan dalam mengerjakannya
2. Teladan Pimpinan
Sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan pengurus karena pimpinan dijadikan teladan dan panutan oleh para bawahannya . Dengan teladan pimpinan yang baik, kedisiplinan bawahannya akan ikut baik, jika teladan pimpinan kurang baik terhadap pengurus pun akan kurang disiplin.
3. Balas jasa
Balas jasa ikut mempengaruhi kedisiplinan pengurus karena balas jasa akan memberikan kepuasan semua pengurus terhadap koperasi
4. Keadilan
Keadilan ikut mendorong terwujudnya kedisiplinan pengurus mungkin karena ego dan sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting dan meminta diperlakukan sama dengan manusia lainnya.
5. Pengawasan melekat
Pengawasan melekat adalah tindakan nyata dan paling efektif dalam mewujudkan kedisiplinan pengurus dengan pengawasan ini berarti ketua harus aktif dan langsung mengawasi pengurus
6. Sanksi hukuman
Sanksi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan pengurus dengan sanksi hukuman yang semakin berat pengurus tidak akan melanggar aturan azas dan tujuan koperasi.
7. Ketegasan
Ketegasan pimpinan dalam melakukan tindakan akan mempengaruhi kedisiplinan pengurus, ketua harus berani dan tegas, bertindak untuk memberi peringatan pada pengurus yang indisiplin sesuai dengan sanksi yang ditetapkan.
8. Pengaruh kemanusiaan
Pengaruh kemanusiaan yang harmonis diantaranya semua pengurus ikut menciptakan yang baik dalam wadah organisasi koperasi. Hubungan pengaruh baik yang bersifat horizontal dan vertical yang terdiri dari ketua, pengurus dan anggota dan nasabah.
Sedangkan indikator masalah dalam ciri organisasi (max weber ) adalah:
1. Tujuaan
Merencanakan organisasi dalam tugas-tugas yang dikerjakan
2. Kewenangan
Dalam melaksanakan kewajiban yang diberikan jabatan
3. Tatanan Hirarki
Garis-garis kewenangan dalam mengambil keputusan
4. Sisitem Aturan
Mengatur tindakan dan fungsi jabatan dalam organisasi
5. Prosedur
Peraturan yang berlaku bagi setiap orang
6. Anggota Organisasi
Anggota yang bisa membedakan kehidupan pribadi dan organisasi
7. Pemilihan Pegawai
Memilh pekerja dalam kualifikasi koneksi politis dan keluarga
8. Kecakapan
Peraihan dalam kecakapan teknis dalam prestasi
Berdasarkan pendapat diatas, secara kesimpulan bahwa karakteristik pengurus/ pimpinan koperasi diperlukan unsur-unsur yang terdiri dari : Tujuan dan Kemampuan, Teladan Pimpinan, Balas jasa, Keadilan, Pengawasan melekat, Sanksi hukuman, Ketegasan, dan kemanusiaan/ sosial.
Implementasi Manajemen secara baik dan terarah dengan mengetengahkan peranan inovasi sebagai pendukung kualitas pemimpin koperasi/pengurus, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hardi Susilo ( 2009 ) dalam penelitiannya yang berjudul Peranan Inovasi terhadap Wirausaha dilingkungan DPD KUKMI Jawa Barat bahwa : ” Peranan Inovasi adalah alat spesifik wiraswastawan sebagai peluang bisnis yang dapat ditampilkan sebagai ilmu, dipelajari, dan dipraktekkan sehingga dapat memberi kekuatan dan kemampuan untuk menciptakan kesejahteraan Sumber daya manusia, dan Inovasi harus dilihat sebagai aset yang dikelola sesuai dengan kebutuhan, ini akan membuat perusahaan menjadi lebih kompetitif ”.
Hipotesis
Hipotesis merupakan dugaan sementara yang kebenarannya perlu diadakan penelitian, berdasarkan kerangka pemikiran dan kajian pustaka serta fakta dilapangan mengenai kriteria kedisiplinan kerja pimpinan Koperasi/pengurus yang berkualitas, maka penelitian tersebut dapat membuktikan analisa hipotesis :
” Jika Pemimpin Koperasi / Pengurus memiliki Kedisiplinan Kualitas Kerja yang baik, maka dapat meningkatkan Keberadaan Koperasi untuk memenuhi Kebutuhan Individu anggota Koperasinya ”.




SUMBER DATA


NO JUDUL BUKU PENGARANG TAHUN
1 Manajemen Pemberdayaan Manusia Anwar Prabu Mangkunegoro 2001
2 Aspek Sikap Mental Dalam Manajemen SDM Emil Salim 1996
3 Manajemen Personalia Heidi Rachman Ranu Pandoyo dan Suad Gusman 1997
4 Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Husen Umar 2001
5 Aplikasi Analisis Multifariate Program SPSS Imam Gozali 2001
6 Pemimpin dan Kepemimpinan Kartini Kartono 1990
7 Manajemen Sumber Daya Manusia M. Hasibuan 2001
8 Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya Miftah Toha 1993
9 Perilaku Organisasi Konsep Kontraversi, Aplikasi Stephen P. Bobbins 1996
10 Badan Usaha Koperasi dan usaha Kecil Sentosa Sembiring 2006